haloowen

6.4.12

Ekosistem Hutan Hujan Tropis


A.  Hutan Hujan Tropis
Hutan hujan tropika atau sering juga ditulis sebagai hutan hujan tropis merupakan tipe hutan yang selalu basah atau lembab, yang dapat ditemui di wilayah sekitar khatulistiwa; yakni kurang lebih pada lintang 0°–10° ke utara dan ke selatan garis khatulistiwa. Hutan-hutan ini didapati di Asia, Australia, Afrika, Amerika Selatan, Amerika Tengah, Meksiko dan Kepulauan Pasifik. Dalam peristilahan bahasa Inggris, formasi hutan ini dikenal sebagai lowland equatorial evergreen rainforest, tropical lowland evergreen rainforest, atau secara ringkas disebut tropical rainforest.


Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1,750 millimetre (69 in) dan 2,000 millimetre (79 in). Sedangkan rata-rata temperatur bulanan berada di atas 18 °C (64 °F) di sepanjang tahun. Hutan basah ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1.200 m dpl, di atas tanah-tanah yang subur atau relatif subur, kering (tidak tergenang air dalam waktu lama), dan tidak memiliki musim kemarau yang nyata (jumlah bulan kering < 2).
Tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropis terdiri dari tujuh kelompok yaitu:
a.      Pohon-pohon Hutan
Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya. Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun. Pohon-pohon ini merupakan komponen struktural utama, kadang-kadang untuk mudahnya dinamakan atap atau tajuk (canopy).


Kanopi ini terdiri dari tiga tingkatan, dan masing-masing tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohon-pohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan dan jarang merupakan suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuah atap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing. Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya sukar sekali dtentukan secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon yang tidak seragam seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas. Pengamatan tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat causal saja.
Kanopi hutan banyak mendukung kehidupan lainnya, semisal berbagai jenis epifit (termasuk anggrek), bromeliad, lumut, serta lumut kerak, yang hidup melekat di cabang dan rerantingan. Tajuk atas ini demikian padat dan rapat, membawa konsekuensi bagi kehidupan di lapis bawahnya. Tetumbuhan di lapis bawah umumnya terbatas keberadaannya oleh sebab kurangnya cahaya matahari yang bisa mencapai lantai hutan, sehingga orang dan hewan cukup leluasa berjalan di dasar hutan.
Daun-daun pohon biasanya berukuran sedang, memiliki luas antara 2.000-18.000 mm2. Daun-daun itu biasanya tunggal dan kaku seperti belulang, berwarna hijau tua dengan permukaan yang mengkilap. Jadi daun-daun itu tergolong dalam daun Laur us atau tipe sklerofil besar. Kebanyakan daun-daun itu terbentang memanjang, bangun lanset sampai bangun jorong, kadang-kadang dengan ujung memanjang seperti ekor yang disebut ujung penetes. Kebanyakan hutan hujan tropis memiliki perdaunan meluas dan kontinu mulai dariter na di tanah sampai ke puncak pohon-pohon yang paling dominan. Perdaunan ini bahkan dapat menutup batang-batang pohon dominan yang besar, hingga tertutup sama sekali.
Pemandangan lainnya adalah tajuk pohon yang sedemikian rapatnya, menyebabkan sinar matahari sukar tembus hingga ke dasar tanah. Dampaknya adalah hanya sedikit saja perkembangan vegetasi bawah (undergrowth) dan tumbuhan penutup tanah, sehingga batang-batang pokok pohon-pohon tampak menonjol dalam keremangan cahaya sebagai tiang-tiang raksasa.
Ada dua lapisan tajuk lagi di atas lantai hutan, yakni lapisan semak dan lapisan vegetasi penutup tanah. Lantai hutan sangat kurang cahaya, sehingga hanya jenis-jenis tumbuhan yang toleran terhadap naungan yang bertahan hidup di sini; di samping jenis-jenis pemanjat (liana) yang melilit batang atau mengait cabang untuk mencapai atap tajuk. Akan tetapi kehidupan yang tidak begitu memerlukan cahaya, seperti halnya aneka kapang dan organisme pengurai (dekomposer) lainnya tumbuh berlimpah ruah. Dedaunan, buah-buahan, ranting, dan bahkan batang kayu yang rebah, segera menjadi busuk diuraikan oleh aneka organisme tadi. Pemakan semut raksasa juga hidup di sini. Pada saat-saat tertentu ketika tajuk tersibak atau terbuka karena sesuatu sebab (pohon yang tumbang, misalnya), lantai hutan yang kini kaya sinar matahari segera diinvasi oleh berbagai jenis terna, semak dan anakan pohon; membentuk sejenis rimba yang rapat.
b.      Terna
Terna adalah tumbuhan yang batangnya lunak karena tidak membentuk kayu. Tumbuhan semacam ini dapat merupakan tumbuhan semusim, tumbuhan dwimusim, ataupun tumbuhan tahunan. Yang dapat disebut terna umumnya adalah semua tumbuhan berpembuluh (tracheophyta). Biasanya sebutan ini hanya dikenakan bagi tumbuhan yang berukuran kecil (kurang dari dua meter) dan tidak dikenakan pada tumbuhan non-kayu yang merambat (digolongkan tumbuhan merambat). Di daerah tropis biasanya tumbuh terna tahunan.
Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga ke lantai hutan. Pada bagian ini banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang demikian hidup dalah iklim yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti paku-pakuan dan paku lumut (Selagenella spp.) dengan bagian dindingnya sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu. Terna dapat membentuk lapisan tersendiri, yaitu lapisan semak-semak (D), terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi. Lapisan kedua yaitu semai-semai pohon (E) yang dapat mencapai ketinggian 2 meter.


Lapisan semak-semak sering mencakup beberapa terna besar seperti Scitamineae (pisang, jahe, dll.) yang tingginya dapat melebihi 5 meter. Meskipun kondisi iklim mikronya panas dan lembab, namun perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis kurang baik. Hal ini disebabkan kurangnya pencahayaan matahari untuk membantu proses fotosintesisnya. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar matahari leluasa mencapai lantai hutan.
c.       Tumbuhan pemanjat
Tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan  hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutan Liana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu sifat yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Tumbuhan ini dapat berbentuk tipis seperti kawat atau berbentuk besar sebesar paha orang dewasa. Tumbuhan ini seperti menghilang di dalam kerimbunan dedaunan atau bergantungan dalam bentuk simpul-simpul tali raksasa (ingat dalam film Tarzan, the Adventure). Sering pula tumbuhan ini tumbuh di percabangan pohon-pohon besar. Beberapa diantaranya dapat mencapai panjang sampai 200 meter.


Banyak pemanjat yang menjangkau puncak kanopi mempunyai bentuk tajuk, dan sering juga ukuran, dari tajuk pohon. Pemanjat biasanya dengan bebas menggantung pada batang pohon, dan dapat berubah menjadi pemanjat berkayu besar. Mereka diwakili oleh banyak famili tumbuhan. Semua kecuali dua jenis dicurigai Gymnosperm Gnetum adalah pemanjat berkayu besar. Di antara pemanjat berkayu besar yang paling umum adalah Annonaceae. Palm yang menjadi pemanjat, rotan, adalah kelas penting lainnya dari pemanjat berkayu besar yang merupakan corak hutan hujan.
Pemanjat berkayu paling besar adalah photophytes dan tumbuh prolifically di dalam pembukaan hutan dan pinggiran hutan, menimbulkan dongeng yang populer rimba raya tebal yang tak dapat tembus. Mereka bertumbuh dalam gap dan tumbuh dengan tajuk pada pohon muda, maka akan ikut dengan bertumbuh tingginya penggantian kanopi. Mereka juga bertumbuh setelah operasi penebangan dan boleh membuktikan suatu rintangan serius kepada pertumbuhan suatu hutan.

d.      Epifita
Epifit adalah semua tumbuh-tumbuhan yang menempel dan tumbuh di atas tanaman lain untuk mendapatkan sinar matahari dan air. Akan tetapi epifit bukanlah parasit. Epifit bahkan menyediakan tempat tumbuh bagi hewan­hewan tertentu seperti semut-semut pohon dan memainkan peranan penting dalam ekosistem hutan. Sebagian besar tanaman ini (seperti lumut, ganggang, anggrek, dan paku-pakuan) tingkat hidupnya rendah dan bahkan lebih senang hidup di atas tumbuh-­tumbuhan lain daripada tumbuh sendiri.
Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang atau pada daun-daun pohon, semak, dan liana. Tumbuhan ini hidup diakibatkan oleh kebutuhan akan cahaya matahari yang cukup tinggi. Beberapa dari tipe ini hidup di atas tanah pada pohon- pohon yang telah mati. Tumbuhan ini pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk terhadap inang yang menunjangnya. Tumbuhan ini pun hanya memainkan peran yang kurang berarti dalam ekonomi hutan. Namun demikian, epfita memainkan peranan penting dalam ekosistem sebagai habitat bagi hewan. Epifit pun memainkan peranan penting dan sangat menarik untuk menunjukkan adaptasi struktural terhadap habitatnya. Jumlah jenisnya lebih beraneka ragam, biasanya melibatkan kekayaan jenis-jenis tumbuhan spora, baik dari golongan yang rendah maupun paku-pakuan dan tumbuhan berbunga termasuk diantaranya semak-semak. Kehadiran epifit dalam ukuran yang luas lagi digunakan untuk membedakan antara hutan hujan tropis dengan komunitas hutan di daerah iklim sedang.
Epifit hidup dengan mengumpulkan pengganti tanah berupa sisa tumbuhan yang telah mati. Sisa-sisa tumbuhan yang telah mati itu biasanya dikumpulkan oleh semut yang menghuni sistem perakaran tumbuhan dan berfungsi sebagai pot bunga bagi epifit. Kebutuhan air bagi epfit dikumpulkan dari udara hutan hujan tropis yang sangat lembab dengan sistem perakaran berbentuk jaringanvelamen yang bersifat sepon  Epifit juga harus mampu menyimpan air yang telah diperolehnya. Sebagai konsekuensinya, epifit sering bersifatxer om or fik atau memiliki tempat penyimpanan air yang khusus atau jaringan-jaringan penyimpan air.


Epifit dalam hutan hujan tropis dapat dibedakan dalam tiga tipe utama sesuai dengan  mikrohabitatnya yang berbeda-beda. Tipe pertama adalah epifit yang bersifat ekstrim xerofil. Epifit ini hidup pada bagian paling ujung cabang-cabang dan ranting-ranting  pohon yang besar sebagai inangnya, misalnya pada sukuBr om eliacea e dan juga dari jenis Cactus. Tipe yang kedua adalah epifita matahari. Epifit ini biasanya bersifat xeromorfik dan terutama terdapat pada bagian tengah tajuk inangnya. Epifit ini pun hidup di sepanjang dahan-dahan pohon besar penyusun tiga tingkat teratas. Epifit ini biasanya merupakan epifit terkaya diantara sinus ia efitik baik dari segi jenis maupun populasinya. Tipe yang ketiga adalah tipe epifit naungan. Epifit ini dapat ditemui pada batang dan dahan-dahan pohon lapisan C, atau pada batang liana yang besar. Sinusia epifit naungan terutama terdiri dari tumbuhan paku yang tidak menunjukkan tanda- tanda xeromorfik. Pola pemencaran dan regenerasi epifita dapat dengan spora yang diterbangkan oleh angin, biji, dan buah. Pemencaran biji dan buah epifita ini biasanya dilakukan oleh hewan. Contoh yang menarik dari jenis epifita yang banyak dikembangkan oleh manusia adalah dari epifita anggrek.

e.       Pencekik pohon
Tumbuhan pencekik memulai kehidupannya sebagai epifita, tetapi kemudian akar- akarnya menancap ke tanah dan tidak menggantung lagi pada inangnya. Tumbuhan ini sering membunuh pohon yang semula membantu menjadi inangnya. Tumbuhan pencekik yang paling banyak dikenal dan melimpah jumlahnya, baik dari segi jenis ataupun populasinya, adalah Fircus spp. yang memainkan peranan penting baik dalam ekonomi maupun fisiognomi hutan hujan tropis. Biji-biji dari tumbuhan pencekik ini berkecambah diantara dahan-dahan pohon besar yang tinggi atau semak yang merupakan inangnya. Pada stadium ini tumbuhan pencekik masih berupa epifit, namun akar-akarnya bercabang-cabang dan menujam ke bawah melalui batang- batang inangnya hingga mencapai tanah. Kemudian batang-batang pohon itu tertutup dan terjalin oleh akar-akar tumbuhan pencekik dengan sangat kuat. Setelah beberapa waktu tertentu inang pohon pun akan mati dan membusuk meninggalkan pencekiknya. Sementara itu tajuk tumbuhan pencekik menjadi besar dan lebat.


Para pencekik adalah tumbuhan yang memulai hidupnya sebagai epifit dan menurunkan akar ke tanah dan meningkat dalam jumlah dan ukuran dan bertahan di bawah tekanan dan akhirnya dapat membungkus pohon yang menjadi tuannya sehingga sering pohon itu kemudian mati. Contoh pencekik adalah Schefflera, Fagraea, Timonius, Spondias dan Wightia. Secara umum strangler dikatakan sebagai tanaman hemi-epifit atau semi-epifit. Jenis tumbuh-tumbuhan ini hidup dengan jalan mengandalkan tumbuhan lain untuk mencari makanannya. Awalnya epifit tersebut mengecambahkan bijinya tinggi di atas tanah pada cabang pohon besar. Kecambah tersebut mempunyai dua macam akar yang melilit cabang. Akar yang berjuntai mirip kabel dan tumbuh terus mencapai tanah merupakan alat untuk bertahan di tempat. Sebelum akar sampai tanah, pohon pencekik tumbuh seperti epifit lain yang memperoleh air dan hara dari kotoran di celah-celah pohon. Setelah akar mencapai tanah, sumber hara dan air mencukupi kebutuhan hidup pohon tersebut, sehingga akar semakin banyak berjuntaian munuju tanah dan pohon penopangnya terkurung dalam jaring jaring akar tersebut dan tercekik. Inang tersebut membusuk dan akhirnya tanaman tersebut hidup bebas dengan bagian tengahnya berlubang (gerowong).
f.       Saprofita
Tipe tumbuhan ini mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang telah mati bersama-sama dengan parasit-parasit. Tumbuhan ini merupakan komponen heterotrof yang tidak berwarna hijau di hutan hujan tropis. Jenis tumbuhan ini terdiri atas cendawan atau jamur (fungi), dan bakteri. Tumbuhan ini dapat membantu terjadinya penguraian organik, terutama yang hidup di dekat permukaan lantai hutan. Namun beberapa jenis anggrek tertentu, suku Burmanniaceae dan Gentianaceae, jenis-jenis Triuridaceae dan Balanophoraceae yang sedikit mengandung klorofil dapat hidup dengan cara saprofit yang sama.


Tumbuhan ini banyak ditemukan pada lantai hutan yang memiliki rontokan daun- daun yang cukup tebal dan terjadi pembusukkan yang nyata. Tumpukan dedaunan tersebut dapat dijumpai pada rongga-rongga atau sudut-sudut diantara akar-akar banir pohon-pohon.

g.      Parasit
Jenis tumbuhan ini biasanya mengambil unsur hara dari pohon inangnya untuk kelangsungan hidupnya. Tumbuhan ini hidupnya hanya untuk merugikan tumbuhan inangnya. Tumbuhan ini dapat berupa cendawan dan bakteria yang digolongkan dalam 2 sinusia penting.


Pertama adalah parasit akar yang tumbuh di atas tanah dan yang kedua adalah setengah parasit (hemiparasit) yang tumbuh seperti epifita di atas pohon.Parasit akar jumlahnya sangat sedikit dan tidak seberapa penting artinya, namun bila dikaji secara mendalam akan sangat menarik sekali. Hemiparasit yang bersifat seperti epifit jenisnya sangat banyak sekali dan jumlahnyanya pun melimpah ruah serta banyak dijumpai di seluruh hutan hujan tropis. Kebanyakan hemiparasit adalah dari suku benalu (Loranthaceae).




Pengaruh Iklim terhadap Pembentukan Tanah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Faktor pembentuk tanah adalah bahan induk, topografi, iklim, organisme, dan waktu. Secara menyeluruh, diantara kelima factor tadi iklim merupakan yang paling berpengaruh terhadap proses dan kecepatan pembentukan tanah. Terdapat dua unsur iklim terpenting yang mempengaruhi pembentukan tanah yaitu CH dan suhu yang berpengaruh besar pada kecepatan proses kimia dan fisik yang merupakan proses yang berpengaruh pada perkembangan profil.
            Iklim mempunyai peranan yang besar terhadap pembentukan tanah, terutama sekali variasi antara suhu tanah dan suhu atmosfir. Atmosfer memancarkan cahaya panas melalui udara kering yang bersih tetapi menyerap sebagian besar radiasi gelombang pendek. Sebagian radiasi yang mencapai permukaan bumi kemudian diubah menjadi panas, sedangkan sebagian yang lainnya dipantulkan kembali. Energy panas inilah yang menyebabkan suhu memainkan peranan penting terhadap kecepatan reaksi dalam tanah meningkat 2-3 kali lipat. Iklim juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap kedalaman tanah dan tekstur tanah. Pengaruh bersama dari curah hujan besar dan suhu tinggi, seperti yang terjadi didaerah tropis menghasilkan suatu keadaan optimum bagi pembentukan tanah. Oleh karena itu pada makalah ini kelompok kami menenkankan pada iklim sebagai faktor pembentuk tanah.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud iklim?
1.2.2 Bagaimana pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan iklim
1.3.2 Pengaruh iklim terhadap pembentukan tanah.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Iklim
             Cuaca adalah keadaan udara yang terjadi pada waktu dan daerah tertentu. Ilmu yang mempelajari cuaca adalah meteorologi. Biasanya cuaca dapat berubah-ubah tiap waktu. 
            Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata pada daerah yang luas dalam waktu yang lama. Ilmu yang mempelajari tentang iklim disebut klimatologi. Iklim mempunyai sifat tetap, meliputi tempat yang luas, dan berlaku untuk waktu lama.
            Iklim dan cuaca terbentuk dari unsur yang sama, diantaranya adalah penyinaran matahari, suhu udara, kelembapan udara, tekanan udara, angin, Awan, dan curah hujan. Dengan penjelasan sebagai berikut:
1)      Penyinaran Matahari
Penyinaran matahari dapat mengubah suhu dipermukaan bumi. Banyaknya jumlah panas yang dapat diterima oleh permukaan bumi tergantung pada lamanya penyinaran, kemiringan sudut datang sinar matahari ke bumi, keadaan awan, dan juga keadaan bumi itu sendiri.
2)      Suhu Udara
Suhu udara adalah keadaan panas atau dinginnya udara. Alat yang digunakan untuk mengukur suhu udara disebut termometer. Ada tiga macam skala yang digunakan, yaitu Celcius, Fahrenheit, dan Kelvin. Energi panas matahari tidak semuanya diserap akan tetapi ada sebagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Dipermukaan bumi perbedaan suhu dari satu tempat dengan tempat lainnya dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan letak lintang. Penurunan semacam itu dinamakan Gradien Temperatur Vertikal atau Lapse Rate. Berdasarkan letak astronomis suhu udara akn lebih tinggi didaerah sekitar ekuator. Garispada peta yang menghubungkan tempat yang memiliki suhu udara sama disebut isoterm.
3)      Kelembapan Udara
Kelembapan udara adalah kandungan uap air dalam udara. Alat yang digunakan untuk mengukur kelembapan udra adalah higrometer. Kelembapan udara dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Kelembapan Mutlak atau Absolut
            Kelembapan mutlak adalah kandungan jumlah uap air dalam 1 meter kubik udara.
b. Kelembapan Nisbi
            Kelembapan nisbi adalah perbandingan antara tekanan uap air yang dikandung udara dengan jumlah maksimum uap air yang dapat dikandung udara pada tekanan dan temperatur tertentu yang dinyatakan dalam persen. 
c. Kelembapan Spesifik
            Kelembapan spesifik adalah perbandingan jumlah uap air yang ada dalam 1 kg udara.
4)      Tekanan Udara
Udara merupakan benda gas yang mempunyai massa, dan volume. Oleh karena itu udara memiliki tekanan yang disebut tekanan udara. Besar kecilnya udara dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut barometer. Besar tekanan udara dinyatakan denganmilibar (mb). Ketinggian suatu temapat sangat mempengaruhi besarnya tekanan udara. Tekanan udara disuatu tempat juga dapat berubah karena dipengaruhi oleh suhu udara. Pemanasan radiasi matahadi menyebabkan pemuaian sehingga udara akan menjadi lebih ringan. 
5)       Angin
Udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan udara tinggi ke tekanan udara yang rendah disebut dengan angin. Angin mempunyai kecepatan yang bergantung pada beda tekanan udara antara dua tempat. Semakin besar beda tekanannya, maka senakin besar kecepatannya. Alat yang digunakan untuk mengukur necepatan angin adalah anemometer. Angin juga memiliki arah, arah gerakan angin selain dipengaruhi oleh perbedaan tekanan, angin juga dipengaruhi oleh gerakan rotasi bumi yang menghasilkan gya coriolis dan gaya gesekan dengan permukaan bumi. Daerah Konvergasi Antar Tropik adalah suatu zona yang memilki suhu tertinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya, dan daerah ini merupakan daerah pertemuan dua angin pasat. Dibawah ini adalah beberapa jenis angin, yaitu:
a. Angin Siklon
            Angin ini terjadi apabila daerah yang bertekanan rendah dikelilingi daerah yang bertekanan tinggi. Sesuai dengan hukum Boys Ballot, angin dibelahan bumi utara berbelok ke sebelah kanan dan angin yang berada disebelah selatan akan berbelok kiri.
 b. Angin Anti Siklon
            Angin ini terjadi jika daerah yang bertekanan maksimum dikelilingi daerah yang bertekanan minimum. Dengan demikian angin siklon gerakannya berputar meninggalkan pusat.
c.  Angin Pasat
            Angin ini betiup dari daerah subtropis ke daerah tropis. Hal ini terjadi karena daerah subtropis merupakan pusat tekanan tinggi, sedangkan daerah tropis merupakanpusat tekanan rendah.
 d. Angin Muson
            Proses terjadinya angin mo=uson di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keberadaan dua benua, yaitu Asia dan Australia serta dua samudera, yaitu Hindia dan Pasifik.
 e. Angin Lokal
            Yang termasuk kedalam angin lokal adalah angin laut, angin lembah, angin gunung, serta angin fohn. Angin laut adalah angin yang berhembus dari lautan ke daratan. Angin darat adalah angin yang berhenbus dari darat ke laut. Angin lembah adalah angin yang bergerak dari lembah menuju puncak bukit atau gunung. Angin gunung adalah angin yang berhembus dari gunung ke lembah. Sedangkan angin fohn merupakan angin lokal yang terjadi didaerah yang terletak dibelakang pegunungan.
6)       Awan
Awan merupakan kumpulan partikel air yang melayang-layang di udara, sedangkan yang dekat dengan permukaan bumi disebut kabut. Inti kondensasi merupakan titik air yang mengumpul pada sekeliling partikel-partikel kecil. Inti- inti tersebut biasanya terdiri atas asap, benda mikroskopik yang bersifat menyerap, dan kristal garam. Jenis awan didasarkan pada bentuk awan dan ketinggiannya didalam atmosfer. Awan yang bergumpal disebut kumulus, awan yang berlapis disebut stratus, dan awan yang berserat disebut sirus. Sedangkan awan tinggi yang tidak memberikan hujan dinamakan alto, dan awan rendah yang memeberikan hujan dinamakan nimbus. Berdasarkan golongan utama awan dibagi menjadi sepuluh, yaitu:
a.  Stratus
 b. Stratokumulus
 c. Kumulus
 d. Nimbostratus
 e. Kumolonimbus
 f. Altokumulus
 g. Altostratus
 h. Sirus
 i. Sirokumulus
 j. Sirostratus
7)       Curah Hujan (Presipitasi)
Curah hujan adalah banyaknya air hujan atau kristal es yang jatuh ke permukaan bumi. Curah hujan juga dapat diukur dengan menggunakan corong hujan atau biasa disebut ombrometer dengan satuan inci atau milimeter. Ada empat jenis hujan berdasarkan proses terjadinya, yaitu:
a. Hujan Konveksi
            Hujan konveksi adalah hujan yang terjadi karena adanya pemanasan sinar matahari pada suatu massa udara sehingga gerakan udra tersebut naik dan mengalami pengembunan. Hujan konveksi disebut juga hujan zenithal.
b.  Hujan Orografis
            Hujan orografis adalah hujan yang terjadi karena gerakan udara yang menaiki lereng pegunungan dan mangalami kondensasi. Udara yang telah mengalami kondensasi tersebut membentuk awan yang menimbulkan hujan. 
c. Hujan Frontal
            Hujan ini terjadi karena tumbukan antara udara panasdan udara dingin. Udara panas naik dan terjadi kondensasi sehingga menimbulkan hujan.
d. Hujan Konvergensi
            Hujan konvergensi adalah hujan frontal pada daerah konvergensi antar tropik yang terjadi karena pertemuan dua massa udara yang besar dan tebal.
2.2  Pengaruh Iklim Terhadap Pembentukan Tanah
            Iklim merupakan rerata cuaca pada jangka panjang, minimal permusiman atau per periode atau pertahun, dan seterusnya, sedangkan cuaca adalah kondisi iklim pada suatu waktu berjangka pendek, misalnya harian, mingguan, bulanan, maksimal semusim atau seperiode.
            Semua energy dialam raya termasuk yang digunakan dalam proses genesis dan difirensiasi tanah bersumber dari energy panas matahari. Jumlah energy yang sampai permukaan bumi tergantung pada kondisi bumi atau cuaca, makin baik (cerah) cuaca makin banyak energy yang sampai ke bumi, sebaliknya jika cuaca buruk (berawan) cuacalah yang bertanggung jawab dalam mengubah energy matahari menjadi energy mekanin atau panas. Apabila energy mekanik menimbulkan gerakan udara atau angin yang memicu prose penguapan air melalui mekanisme transpirasi tanaman dan evaporasi permukaan non tanaman (gabungannya disebut evapotranspirasi), maka energy panas ditransformasi oleh tanaman menjadi enegi kimiawi melalui mekanisme fotosintesis, yang kemudian digunakan oleh semua makhluk hidup untuk aktifitasnya melalui mekanisme dekomposisi (humifikasi dan mineralisasi) bahan organic, termasuk pencernaan usus manusia dan hewan.
            Diantara komponen iklim, yang paling berperan adalah curah hujan(presipitasi) dan temperatur. Berdasarkan nisbah antara P{presipitasi(hujan+salju+embun)}: Et (evapotranspirasi), Walther Penck membagi tanah dunia menjadi dua wilayah, yaitu:
A. Daerah Humid(basah) apabila nisbah P:Et >0,7, dan
B. Daerah arid (kering) apabila nisbah < 0,7.

            Lang membagi wilayah bumi menjadi nisbah R{curah hujan rerata tahunan(mm)}: T{temperatur rerata tahunan(0C)} menjadi 4 wilayah yaitu :
A. daerah arid (kering) apabila nisbah R: T<40, yaitu kawasan yang ber-evapotranspirasi > ketimbang curah hujan, sehingga air tanah naik kepermukaan. Tanah kawasan ini berciri khas adanya kerak-kerak garam dipermukaan.

B. daerah Humid (lembab) apabila bernisbah antara 40-160 yaitu kawasan yang bercurah hujan > ketimbang evapotranspirasi, sehingga proses mineralisasi lebih lambat ketimbang humifikasi. Oleh karena itu, humus semakin banyak terbentuk dengan makin banyaknya hujan dan proses humifikasi optimum pada nisbah 120. Tanah-tanah diwilayah ini terbagi menjadi:
            1. Tanah-tanah kuning atau merah, dengan nisbah 40-60
            2. Tanah-tanah coklat, dengan nisbah 60-100, dan
            3. Tanah-tanah hitam, dengan nisbah 100-160.
C. daerah perhumid(sangat lembab), yaitu wilayah bernisbah > 160.

D. daerah Nival(basah) yaitu, wilayah tanpa penguapan sama sekali, seperti disebagian eropa, palestina, dan amerika serikat.

            Dua istilah yang sering juga digunakan adalah daerah pegunungan dan daerah tropika. Daerah pegunungan menurut Meyer adalah dataran tinggi yang mempunyai nisbah N(jumlah hujan setahun): S(defisit kejenuhan=beda tekanan uap air maksimum pada temperatur tertentu dan tekanan 76cm Hg dengan kelembapan mutlak udara) untuk semua bulan lebih dari 30 atau lembab sepanjang tahun. Daerah tropika menurut Tornthwaite adalah wilayah yang mempunyai indeks E-T >128. Indeks E-T (efisiensi temperatur) adalah jumlah nisbah {temperatur bulan (0F) -32}: 4 selama setahun.
            2.2.1 pengaruh curah hujan
Sebagai pelarut dan pengangkut, maka air hujan akan mempengaruhi:
1)      komposisi kimiawi mineral-mineral penyusun tanah.
2)      Kedalaman dan diferensiasi profil tanah
3)      Sifat fisik tanah
Pengaruh curah hujan terhadap komposisi kimiawi tanah terlihat pada table berikut:
Table 1.  proporsi (%) komposisi kimiawi tanah daerah arid dan humid
Daerah(n contoh)
Bahan larut(%)
Komposisi senyawa kimiawi(%)
total
SiO2
Al2O3
Fe2O3
CaO
MgO
K2O
Na2O
Arid(573)
30.84
6.71
7.21
5.47
1.43
1.27
0.67
0.35
Humid(696)
15.83
4.04
3.66
3.88
0.13
0.29
0.21
0.14

Table 2.  nilai pelindihan tanah pada tiga zone iklim
Daerah
N profil tanah
Nilai Pelindihan
Semiarid-semihumid
15
0.981+0.059
Semihumid
29
0.901+0.028
Humid (terpodsolisasi)
12
0.17+0.053

            Adanya perbedaan komposisi kimiawi sebagai konsekuensi berbedanya intensitas pelapukan, terlihat pada table 1:
1.      Tanah daerah humid mempunyai bahan dan silikat larut, serta komponen senyawa kimiawi utama yang selalu lebih rendah ketimbang tanah daerah arid
2.      Nisbah besi oksida: Al-oksida dan Mg-Oksida: Ca-oksida pada tanah daerah Humid >1, sedangkan pada tanah daerah arid < 1
Pada table 2 juga terlihat pada urutan (maksimal-minimal) nilai-nilai pelindihan (leaching value) hasil penelitian Jenny (cit. darmawijaya, 1990) terhadap tanah-tanah di Amerika Serikat:
Semiarid sampai semihumid > semihumid> humid (terpodsolosasi).
            Nilai pelindihan adalah nisbah indeks pellindihan (IP) pada horizon tanah:  indeks pelindihan pada horizon bahan induk, dengan indeks pelindihan (IP):
            IP= (K2O+Na2O+CaO) : (Al2O3)
            Urutan nilai ini pelindihan ini merupakan indikator makin intensifnya pengaruh curah hujan dalam melindih senyawa-senyawa kimiawi yang dimiliki oleh K2O , Na2O, dan CaO pada profil tanah ketimbang pada bahan induknya, sehingga juga merupakan indikator:
1.      Makin rendahnya kadar dan ketersediaan hara, kejenuhan basa-basa (Ca, Mg, Na, dan K), reaksi tanah (pH) dan muatan negative koloid liat, sehingga apabila tanah-tanah tersebut berasal dari bahan induk yang sama, secara umum juga mencerminkan makin rendahnya kesuburan tanah, dan
2.      Makin banyaknya pembentuk liat oksida Al dan Fe yang bermuatan negative rendah akan dapat bermuatan positif, sehingga berdaya-fiksasi tinggi terhadap anion-anion seperti phosphat, tetapi berdaya-tukar rendah terhadap kation-kation seperti K, Ca, dan Mg. hal ini berdampak negative terhadap efisiensi pemupukan maupun ameliorasi (pembenahan sifat kimiawi tanah).
3.      Makin terdiferensiasinya horizon-horison tanh baik secara kimiawi maupun secara fisik. Secara fisik, tanah-tanah akan mempunyai lapisan atas yang gembur dan relative tipis, tetapi secara keseluruhan akan bersolum tebal bersifat kimiawi buruk dan bersifat fisik baik.
            Curah hujan berkorelasi erat dengan pembentukan biomass (bahan organic) tanah, karena air merupakan komponen utama tetanaman maka kurangnya curah hujan akan menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karena itu pada tanah-tanah daerah arid umumnya dicirikan oleh rendahnya kadar BOT dan N serta aktivitas mikrobia heterotrofik (pengguna biomass sebagai sumber energinya) sebaliknya pada tanah-tanah daerah kering bahkan pada kawasan rawa-rawa akan terbentuk tanah gambut yang ketebalannya dapat lebih dari 2 meter akibat terhadap terhambatnya mineralisasi dalam proses dekomposisi biomass (humifikasi lebih dominan).
            2.2.2 Pengaruh Temperatur
            Perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang sampai ke satu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu:
1.      Proses fisik pada pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah dengan mekanisme proses pelapukan batuan yang telah diuraikan,
2.      Keanekaragaman hayati yang aktif, karena masing-masing kelompok terutama mikrobia mempunyai temperature optimum, spesifik, sehingga perbedaan temperature akan menghasilkan jenis dan populasi mikrobia yang berbeda pula. Umumnya makin rendah atau makin tinggi temperature dari titik optimalnya akan diikuti oleh jenis dan populasi mikrobia yang makin sedikit.
3.      Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisasinya.
            Sebagai hasil dari fungsi (2) dan (3) ini maka kadar biomass tanah-tanah akan bervariasi. Tanah yang terbentuk pada temperature rendah (daerah kutub) akan cenderung berkadar biomass rendah (fibrik), akibat tetanaman yang tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang dan sedikitnya populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada temperature tinggi (daerah arid) juga berkadar biomass rendah tetapi matang (saprik) karena cepatnxa proses mineralisasi kimaiwi terhadap sisa-sisa tanaman. Tanah-tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperature sedang) akan mempunyai jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologis dalam dekomposisi biomass juga akan ideal. Sumber biomass berlimpah karena semua jenis tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga kadar biomass tanah dan derajat kematangannya juga akan sedang (humid), karena laju proses humifikasi biomass seimbang dengan laju proses mineralisasinya. Humifikasi adalah proses dekomposisi bahan organic tanah yang menghasilkan senyawa-senyawa organic sederhana (seperti amilum dari protein dan monosakarida dan karbohidrat) dan humus, sedangkan mineralisasi adalah proses dekomposisi senyawa-senyawa organic sederhana menjadi senyawa-senyawa atau ion-ion anorganik (seperti ammonium dan nitrat).

12 Klasifikasi Tanah Menurut USDA (United States Department Of Agriculture)
1.      gelisoll
Tanah yang berada pada iklim dingin, mengandung tanah beku sampai kedalaman 2 meter dari permukaan bumi.

2.      histosol
Merupakan tanah organic, di daerah iklim basah atau jenuh air.
3.      spodosol
Tanah hutan yang asam, merupakan akumulasi metahumus yang kompleks, daerah tropis sampai dingin.
4.      andisol
Tanah yang terbentuk dari debu vulkanik
5.      oxisol
Tanah dari hasil pelapukan batuan di daerah beriklim tropis dan subtropics.
6.      vertisol
Tanah berlempung yang memiliki kemampuan untuk menyusut di musim kering dan memuai di musim basah.
7.      aridisol
Tanah yang mengandung mineral CaCO3 yang beriklim kering.
8.      ultisol
Tanah yang telah tercuci di daerah panas tropis.
9.      molisoll
Tanah di dataran berumput dengan high base status di daerah basah sampai semiarid, sejuk, sampai panas.
10.  alvisol
Tanah yang cukup mengalami pencucian dengan zona permukaan tanah yang terdiri dari akumulasi lempung dan lebih dari 35% base saturation.
11.  inceptisol
Tanah dengan horizon subpermukaan yang kurang berkembang hamper di semua iklim.
12.  entisols
                   Tanah yang sangat sedikit bahkan tidak mengalami perkembangan morfologi.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Secara menyeluruh di antara kelima faktor, ikllim merupakan faktor yang paling berpengaruh. Iklim merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan pembentukan tanah. Terdapat 2 unsur iklim terpenting yang mempengaruhi pembentukan tanah, yaitu curah hujan dan suhu, yang berpengaruh besar pada kecepatan proses kimia dan fisika, yaitu proses yang mempengaruhi perkembanngan profil.
            Suhu mempunyai peranan besar terhadap pembentukan tanah terutama sekali variasi antara suhu tanah dan suhu atmosfer. Atmosfer memancarkan energi (radiasi) panasmelalui udara tetapi menyerap sebagian besar radiasi gelombang pendek matahari. Sebagian radiasi yang mencapai permukaan bumi kemudian diubah menjadi panas, sedangkan sebagian lainnya dipantulkan kembali. Energi panas inilah yang menyebabkan suhu memainkan peranan penting terhadap kecepatan reaksi yang terjadi dalam tanah. Telah diketahui bahwa untuk setiap kenaikan suhu sekitar 100C kecepatan reaksi dalam tanah meningkat 2-3 kali lipat. Iklim juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap kedalaman tanah dan tekstur tanah. Pengaruh bersama dari curah hujan besar dan suhu tinggi, seperti yang terjadi di daerah tropic menghasilkan suatu keadaan optimum bagi pembentukan tanah.