Oleh:
Nama: Prilia Ayu T.
NIM: 209821419841
Off.: K/ 2009
Abstrak
Penggunaan lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan lahan. Saat ini banyak dijumpai penggunaan-penggunaan lahan yang kurang sesuai sehingga terjadi alih fungsi lahan, misalnya adalah perubahan lahan pertanian menjadi permukiman atau industri. Tak dapat dipungkiri, pertumbuhan penduduk yang pesat Indonesia menimbulkan persaingan penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan menjadi sangat tinggi. Pembangunan yang gencar dilaksanakan mengiringi pertumbuhan penduduk yang membutuhkan banyak lahan, sementara jumlah lahan terbatas. Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui dan memiliki jumlah yang terbatas. Diperlukan perencanaan yang matang dalam penggunaan lahan agar tanah tersebut masih dapat digunakan untuk generasi mendatang. Oleh karena itu evaluasi lahan diperlukan agar penggunaan lahan tepat guna sesuai dengan kemampuannya sehingga tanah tidak menjadi rusak atau kritis.
Kata kunci: Lahan, Penggunaan Lahan untuk Permukiman, Kesesuaian Lahan, Daya Dukung Lahan.
A. Lahan
$0D
Lahan sendiri merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sedangkan penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual.
Lahan sendiri merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sedangkan penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual.
Pembangunan di Indonesia yang gencar dilakukan seiring perkembangan jaman dan pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin besar. Kebutuhan lahan yang semakin besar ini memicu alih fungsi lahan yang sudah sering terlihat saat ini. Selama ini kebutuhan akan lahan diidentikan dengan kebutuhan lahan untuk pertanian karena memang saat ini pertanian merupakan sumber utama pangan manusia. Peralihan fungsi lahan perlu mendapat perhatian lebih karena penggunaan lahan sedikit banyak pasti berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Pengetahuan akan kondisi lahan dan kemampuan lahan sangat penting karena banyak masyarakat kurang mengetahui sehingga mereka menggunakan lahan secara sembarangan yang akhirnya merusak lahan itu sendiri. Setelah lahan menjadi rusak, maka pemulihan kembali sangatlah sulit dan masyarakat sendiri yang akan dirugikan.
B. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan penggunaan sebuah lahan tersebut, misalkan untuk permukiman maka karakteristik tanah seperti apa yang cocok untuk membangun sebuah permukiman. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang sesuai.
C. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Kesesuaian lahan ini dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung pada data yang tersedia. Dalam hal kesesuaian lahan untuk permukiman ini yang dipakai adalah klasifikasi kesesuaian lahan secara kualitatif karena penilaian kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan diklasifikasikan menjadi beberapa macam. Menurut FAO (1976) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut tingkatannya , yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas, dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global, dimana ia menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat Ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S= Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N= Not Suitable).
Lahan yang termasuk pada golongan S atau sesuai merupakan lahan yang bisa digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak terbatas pada penggunaan tertentu yang telah dipertmbangkan sebelumnya. Lahan yang masuk dalam ordo ini tidak akan memiliki kerusakan yang berarti saat digunakan. Sedangkan lahan yang masuk pada ordo N atau tidak sesuai merupakan lahan yang memiliki kesulitan-kesulitan yang sedemikian rupa sehingga menghambat penggunaan atau bahkan mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan.
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo yang menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan ke dalam dua kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai untuk selamanya). (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).
Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas ini biasanya masih dapat diatasi dengan cukup mudah.
Kelas S3 (sesuai mariginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.
Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini): Lahan memiliki faktor pembatas yang sangat besar namun masih dapat digunakan setelah mengalami pengolahan dengan modal yang juga tidak sedikit.
Kelas N2 (tidak sesuai untuk selamanya): Lahan memiliki faktor pembatas yang permanen sehingga tidak memungkinkan digunakan untuk penggunaan lahan yang lestari dalam jangka waktu yang sangat lama.
Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan subkelas merupakan pembagian tingkat lanjut dari subkelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas.
D. Penggunaan Lahan untuk Permukiman
Menurut UU RI No. 4 tahun 1992 permukiman adalah suatu kawasan perumahan memiliki luas wilayah dengan jumlah penduduk tertentu yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana lingkungan dengan penataan ruang yang terencana dan teratur, tempat kerja terbatas sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. Pada penggunaan lahan untuk permukiman sangat penting untuk dikaji kesesuaian lahannya apakah dengan dibangunnya permukiman di atas sebuah lahan akan berpengaruh terhadap daya dukung lahan tersebut. Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukiman yaitu:
1. lereng,
2. posisi jalur patahan (tidak ada, ada pengaruh, dan tepat pada jalur),
3. kekuatan batuan,
4. kembang kerut tanah,
5. sistem drainase,
6. daya dukung tanah,
7. kedalaman air tanah,
8. bahaya erosi,
9. bahaya longsor, dan
10. bahaya banjir.
Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan kawasan permukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya longsor, bahaya erosi, dan jalur patahan.
Berikut beberapa kriteria dalam penentuan kesesuaian lahan untuk permukiman:
1. Besar sudut dan kemiringan lereng, untuk mengetahui kelas kemiringan lereng digunakan kriteria seperti yang dipakai oleh USDA (1978) sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi dan Kriteria Kemiringan Lereng untuk Permukiman
Harkat dan Kelas | Kriteria | ||
Harkat | Kelas | Kemiringan Lereng | Besarnya Sudut (%) |
5 | Sangat Baik | Rata-Hampir Rata | < 2 |
4 | Baik | Agak miring- Miring | 2-8 |
3 | Sedang | Miring | 8-30 |
2 | Jelek | Sangat miring | 30-50 |
1 | Sangat Jelek | Terjal- sangat terjal | >50 |
2. Daya Dukung Tanah, merupakan kekuatan tanah untuk mendukung atau menahan beban pondasi tanpa terjadi keruntuhan akibat menggeser. Penentuan daya dukung tanah dapat dilakukan dengan pensondiran, pengelolaan atau pnetrometer. Kelas dan kriteria daya dukung tanah disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2. Kelas dan Kriteria Daya Dukung Tanah untuk Permukiman
Harkat | Kelas | Kriteria DDT(kg/cm2) |
5 | Sangat baik | >1.5 |
4 | Baik | 1.4-1.5 |
3 | Sedang | 1.2-1.3 |
2 | Jelek | 1.1-1.2 |
1 | Sangat jelek | <1.1 |
3. Kerentanan terhadap Banjir, parameter ini dapat dinilai berdasarkan interpretasi penggunaan lahan dan wawancara dengan penduduk setempat, maupun berdasarkan data yang diperoleh dari badan terkait. Klasifikasi dan kriteria lama penggenangan akibat banjir yang digunakan oleh Direktorat Perumahan (1980) disajiakn sebagai berikut:
Tabel 3. Kelas dan Kriteria Lama Penggenangan atau Banjir untuk Permukiman
Harkat | Kelas | Kriteria |
5 | Sangat baik | Daerah tidak pernah terlanda banjir |
4 | Baik | Daerah tergenang <2 bulan setahun |
3 | Sedang | Daerah tergenang antara 2-6 bulan setahun |
2 | Jelek | Daerah tergenang >6 bulan setahun |
1 | Sangat jelek | Daerah selalu tergenang atau daerah rawa |
4. Kondisi saluran pembuangan air kotor, penilaian kondisi saluran pembuangan atau drainase didasarkan pada jenis material saluran dan kondisi alirannya. Kriteria penilaian konsisi saluran pembuangan mengikuti kriteria penilaian kondisi saluran pembuangan sebagai berikut:
Tabel 4. Kelas dan Kriteria Kondisi Saluran Pembuangan Air Kotor untuk Permukiman
Harkat | Kelas | Kriteria |
5 | Sangat baik | Saluran pembuangan terbuat dari pasangan batu permanen dan aliran air sangat lancar |
4 | Baik | Saluran pembuangan terbuat dari pasangan batu kosong dan aliran air cukup lancar |
3 | Cukup | Saluran pembuangan terbuat dari batu kosong dan aliran kurang lancar |
2 | Jelek | Saluran pembuangan terbuat dari tanah dan aliran kurang lancar |
1 | Sangat jelek | Tidak ada saluran pembuangan air kotor |
5. Pengatusan permukaan tanah, identifikasi pengatusan permukaan tanah dapat dilakukan dengnan pengamatan di lapangan dan dari nilai permeabilitas tanahnya. Kriteria penentuan pengatusan permukaan mengikuti Suprapto dan Sunarto (1990) seperti berikut:
Tabel 5. Kelas dan Kriteria Pengatusan Permukaan untuk Permukiman
Harkat | Kelas | Kriteria |
5 | Sangat baik | Lahan kering, pengatusan sangat baik |
4 | Baik | Lahan dengan pengatusan baik sekalipun setelah turun hujan |
3 | Sedang | Lahan dengan pengatusan sedang sedikit terpengaruh dengan fluktuasi air tanah |
2 | Jelek | Lahan dengan banyak persoalan pengatusan sangat terpengaruh oleh fluktuasi air tanah |
1 | Sangat jelek | Daerah rawa dan genangan banjir |
6. Tingkat pelapukan batuan atau tanah, identifikasi pelapukan batuan atau tanah diperoleh dari interpretasi peta geologi atau peta tanah dan pengamatan lapangan. Untuk penentuan kelas dan kriteria tingkat pelapukan tanah atau batuan mengikuti kriteria yang digunakan oleh Dackombe dan Gardiner (1983) seperti berikut:
Tabel 6. Kelas dan Kriteria Tingkat Pelapukan Batuan untuk Permukiman
Harkat | Kelas | Kriteria |
5 | Segar (tak lapuk) | Tidak tampak tanda pelapukan, batu sesegar kristal. Beberapa diskontinuitas terkadang bernoda |
4 | Lapuk ringan | Pelapukan hanya terjadi pada diskontinuitas teruka yang menimbulkan perubahan warna, dapat mencapai satu cm dari permukaan |
3 | Lapuk sedang | Sebagian besar batuan berubah warna, belum lapuk (kecuali batuan sedimen yang tersemen baik), diskontinuitas ternoda/ terisi bahan lapuk. |
2 | Lapuk kuat | Pelapukan meluas ke seluruh massa batuan. Sebagian massa batuan lapuk, batu tidak mengkilap, seluruh bahan batuan berubah warna, mudah digali dengan palu geologi. |
1 | Lapuk sempurna | Seluruh bagian berubah warna dan lapuk, kenampakan luar seperti tanah. |
E. Daya Dukung Lahan
Menurut Chapin (1995) dalam Hesti (2003) dari sudut perencanaan, daya dukung lahan diartikan sebagai kemampuan alam untuk mendukung pertumbuhan penduduk, pembangunan fisik atau intensitas pemanfaatan sumber daya alam tanpa kerusakan lingkungan yang berarti. Dalam daya dukung lahan dianalisis dengan membandingkan penggunaan lahan dengan kapasitas kemampuan alam atau sistem yang dibuat oleh manusia. Hal tersebut berkaitan dengan kapasitas ambang batas di luar sistem yang akan menderita kerusakan sebagai dasar rekomendasi batas pertumbuhan yang dilakukan manusia. Daya dukung lahan yang dimaksud di sini adalah alami dimana alam dapat memulihkan kembali kondisi yang tidak seimbang yang masih dalam batas wajar tanpa campur tangan manusia.
Daya dukung lahan diukur menurut berbagai kriteria:
1. Ekologi, dalam ekologi kita dipelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Dalam hal ini, kajian ekologi suatu lahan dikaitkan dengan daya dukung lahan tersebut, dimana apabila kondisi ekologis suatu lahan baik, maka daya dukung lahan tersebut terhadap makhluk hidup yang tinggal di situ adalah baik.
2. Ekonomi, penggunaan lahan untuk kegiatan yang menghasilkan pendapatan misalnya, namun kondsi lahan masih baik dan mampu menanggung beban dari penggunaan lahan tersebut mengindikasikan bahwa daya dukung lahannya baik.
3. Estetika (keindahan), estetika atau keindahan dari suatu wilayah dapat mengindikasikan apakah suatu lahan memiliki daya dukung yang baik atau tidak. Semakin indah suatu lokasi dapat dikatakan semakin baik pula daya dukung lahannya.
4. Rekreasi, suatu daerah dapat digunakan sebagai tempat untuk rekreasi apabila memiliki suasana yang nyaman dan indah tentu saja. Hampir sama dengan estetika, suatu tempat yang dapat digunakan sebagai tempat rekreasi berarti alam mampu mengkondisikan dirinya agar tidak rusak atau lahan menjadi kritis.
5. Psikologi (agar orang tetap tenang), hampir sama dengan estetika dan rekreasi, suatu tempat yang indah biasanya membuat orang atau makhluk hidup yang lain merasa tenang berada di situ, hal ini berarti lahan memiliki daya dukung yang masih baik.
6. Pertanian, biasanya lahan yang digunakan untuk pertanian, khususnya pertanian padi, memiliki daya dukung yang sangat bak karena masih dapat memulihkan kondisinya sendiri meskipun telah berulang kali digunakan.
7. Cagar alam, lahan yang difungsikan sebagai cagar alam memiliki kriteria tersendiri dimana makhluk-makhluk hidup bisa terus bertahan hidup atau bertempat tinggal di tempat tersebut karena laahn memiliki daya dukung yang baik.
8. Kehidupan penduduk, dari kesemua kriteria di atas, tak diragukan bahwa kehidupan penduduk yang menghuni suatu lahan tertentu dapat menjadi indikator suatu lahan memiliki daya dukung yang baik atau tidak. Masyarakat tentu saja menggunakan lahan untuk berbagai keperluan seperti pertanian ataupun rekreasi, dan karena itu sangat dibutuhkan daya dukung lahan yang baik untuk dapat menunjang kehidupan manusia.
Dari beberapa konsep tersebut, segala aspek kehidupan memerlukan daya dukung lahan yang baik untuk menunjang kehidupan ini terutama bagi umat manusia. Namun begitu, alam juga mempunyai keterbatasan sendiri dalam mengembalikan kondisinya seperti semula. Dibutuhkan kesadaran dari manusia untuk tetap menjaga lahan yang dihuni agar tetap dapat memenuhi kebutuhan manusia. Penggunaan lahan yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kemampuan lahan, meskipun lahan memiliki daya dukung yang sangat baik, lambat laun akan menurun juga kualitasnya. Apabila telah menurun, maka lahan sudah tidak dapat mempertahankan kondisinya, dan manusia juga yang akan mendapatkan imbasnya.
Dari berbagai konsep yang telah disebutkan mengenai kesesuaian lahan untuk permukiman dan daya dukung lahan dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan untuk permukiman sangat berkaitan dengan daya dukung lahan tersebut. Penggunaan lahan xang tidak dianalisis terlebih dahulu dengan konsep kesesuaian lahan akan membuat daya dukung lahan berkurang. Dengan berkurangnya daya dukung lahan maka kehidupan manusia juga akan terganggu. Analisis kesesuaian lahan sangat penting untuk menjaga suatu lahan agar dapat bermanfaat namun tidak mengalami kerusakan yang berarti karena daya dukung lahan yang baik.
Daftar Pustaka
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hartadi, Arief. 2009. Kajian Kesesuaian Lahan Perumahan Berdasarkan Karakteristik Fisik Dasar Di Kota Fakfak. Thesis Tidak Diterbitkan. Semarang. Program Pasca Sarjana Magister Teknik Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro.
Pendisetya.wordpress.com/2010/06/11/pemetaan-daya-dukung-lahan-pemukiman-terhadap-kesehatan-masyarakat-sebagai-upaya-untuk-memantau-tantangan-kesehatan-masyarakat/#respond. Online tanggal (11 Februari 2012)
Setyaningrum, Hesti Dwi. 2003. Pengaruh Pengembangan Kota terhadap Daya Dukung Lahan di Kawasan Universitas Negeri Semarang Kecamatan Gunung Pati Semarang. Thesis Tidak Diterbitkan. Semarang. Fakultas Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Semarang.
Setyowati, Dewi Liesnoor. -. Kajian Evaluasi Kesesuaian Lahan Permukiman Dengan Teknik Sistem Informasi Geografis (Sig). Jurnal Geografi (online). Volume 4. No. 1. (http://journal.unnes.ac.id/index.php/JG/article/view/111, diakses tanggal 4 Februari 2012)
Sitorus, Santun. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung: Tarsito
nice, memberi masukan materi
BalasHapus